
medicolegal.id- Selama bertahun-tahun, rumah sakit di Indonesia dibagi ke dalam kelas A, B, C, dan D. Klasifikasi ini umumnya ditentukan dari jumlah tempat tidur dan ketersediaan dokter spesialis. Contohnya, RS kelas A biasanya adalah rumah sakit besar dengan banyak tempat tidur dan layanan lengkap, sedangkan RS kelas D adalah rumah sakit kecil yang hanya punya layanan dasar. Sistem ini juga digunakan dalam sistem rujukan pasien BPJS — semakin tinggi kelas rumah sakit, semakin besar pula tarif yang dibayarkan oleh pemerintah.
Namun, dalam praktiknya, sistem ini tidak selalu mencerminkan kemampuan nyata rumah sakit dalam memberikan pelayanan. Bisa saja sebuah RS kelas B tidak memiliki alat atau tenaga medis yang memadai, sementara RS kelas C di tempat lain justru punya layanan lebih lengkap.
Sistem kelas ini juga kerap digunakan hanya untuk menaikkan tarif klaim tanpa benar-benar meningkatkan mutu layanan.Melihat ketidaksesuaian tersebut, pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatanmemutuskan untuk menghapus klasifikasi A, B, C, dan D, dan menggantinya dengan klasifikasi yang lebih mencerminkan jenis dan kemampuan layanan rumah sakit
Klasifikasi Baru: Berdasarkan Kemampuan Pelayanan
Mulai saat ini (2025), rumah sakit akan dibagi berdasarkan tingkat kemampuannya dalam memberikan pelayanan, yaitu:
- Rumah Sakit Dasar: memberikan layanan kesehatan dasar, seperti pemeriksaan umum, layanan rawat inap sederhana, dan tindakan medis standar.
- Rumah Sakit Madya: punya layanan spesialis dasar, beberapa layanan penunjang lanjutan, serta bisa menangani kasus yang sedikit lebih kompleks.
- Rumah Sakit Utama: memiliki layanan spesialis dan sebagian subspesialis, serta fasilitas pendukung yang lebih lengkap seperti ICU lanjutan, radiologi canggih, dan ruang operasi kompleks.
- Rumah Sakit Paripurna: memiliki layanan paling lengkap, termasuk layanan subspesialis, teknologi kesehatan paling mutakhir, serta seringkali menjadi rumah sakit rujukan nasional.
Dengan klasifikasi ini, pemerintah ingin fokus pada kualitas dan kapasitas nyata rumah sakit, bukan sekadar ukuran fisik atau jumlah tempat tidur. Jadi, rumah sakit akan dinilai dari apa yang benar-benar bisa mereka lakukan dan tangani, bukan dari label kelasnya saja.
Perubahan ini dilakukan karena:
- Sistem kelas A–D sering tidak mencerminkan kemampuan pelayanan sebenarnya.
- Banyak rumah sakit berlomba-lomba naik kelas hanya untuk menaikkan tarif, bukan untuk meningkatkan mutu.
- Pasien sering dirujuk ke RS “kelas lebih tinggi” yang ternyata tidak mampu menangani penyakitnya.
- Pemerintah ingin membuat sistem rujukan yang lebih tepat sasaran dan efisien.
- Sistem pembayaran BPJS ke depan akan berbasis tingkat keparahan penyakit, bukan berdasarkan kelas rumah sakit.
Dengan sistem baru ini, rumah sakit akan dituntut untuk jujur dan transparan tentang layanan yang mereka miliki, sehingga pasien bisa langsung dirujuk ke rumah sakit yang benar-benar mampu menangani kondisi kesehatannya.
Apa Dampaknya bagi Rumah Sakit?
- Izin rumah sakitakan mencantumkan klasifikasi baru: Dasar, Madya, Utama, atau Paripurna.
- Rumah sakit perlu menyesuaikan standar pelayanan, fasilitas, dan SDMagar sesuai dengan klasifikasi yang diinginkan.
- Rumah sakit harus siap menjadi bagian dari jejaring rujukan baruberdasarkan kemampuan pelayanan, bukan lagi berdasarkan kelas.
- Pendapatan dari klaim BPJStidak lagi ditentukan oleh kelas, tapi oleh jenis penyakit dan kompleksitas penanganannya.
- Rumah sakit yang mampu memberikan layanan lebih kompleks akan menangani kasus lebih berat dan menerima klaim lebih besar.
- Rumah sakit yang ingin naik ke klasifikasi lebih tinggi perlu berinvestasi dalam alat, SDM, dan sistem mutu layanan.
Perubahan klasifikasi ini membawa berbagai implikasi bagi manajemen dan pengelolaan rumah sakit:
- Penyesuaian Perizinan dan Standar Layanan:Rumah sakit perlu menyesuaikan diri dengan kriteria kategori baru. Klasifikasi Dasar/Madya/Utama/Paripurna akan dicantumkan dalam izin operasional RS, menggantikan penyebutan kelas A/B/C/D. Oleh karena itu, manajemen RS harus memastikan pemenuhan standar fasilitas dan layanan sesuai tingkat yang diinginkan. Misalnya, untuk diakui sebagai RS Utama atau Paripurna, RS harus memiliki jumlah dan jenis spesialis serta subspesialis tertentu, layanan penunjang lengkap (ICU, radiologi canggih, laboratorium lengkap, dsb), dan kapasitas penelitian/pendidikan (bila relevan). Hal ini mendorong investasi rumah sakit pada peningkatan sarana dan kompetensi SDM. Rumah sakit berhak menentukan jumlah, jenis, dan kualifikasi SDM-nya sesuai klasifikasinya, yang berarti RS tingkat lebih tinggi dapat merekrut lebih banyak spesialis sesuai kebutuhan layanannya. Di sisi lain, pemerintah akan memperketat pengawasan agar setiap RS menjaga mutu layanan sesuai level-nya; kegagalan memenuhi standar bisa berakibat penyesuaian ulang klasifikasi (turun level).
- Sistem Rujukan yang Lebih Terstruktur:Dengan kategori baru, pemerintah dapat merancang jejaring rujukan berjenjang berbasis kompetensi. Rumah Sakit Paripurna akan berperan sebagai pusat rujukan tertinggi (termasuk rujukan nasional), RS Utama sebagai pusat rujukan regional/provinsi, dan RS Madya/Dasar untuk lingkup layanan kabupaten/kota. Implementasi ini sudah mulai tampak dalam program Transformasi Layanan Rujukan Contohnya, Kemenkes menargetkan setiap provinsi memiliki RS Utama untuk layanan kanker (mampu melakukan kemoterapi dan bedah onkologi lanjut) dan setiap kabupaten minimal memiliki layanan Madya untuk kanker (bedah tumor dasar dan kemoterapi). Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) ditunjuk sebagai RS Paripurna (pengampu) tingkat nasional yang membina RS di bawahnya melalui program jejaring pengampuan layanan kanker tersebut. Pola serupa dapat diterapkan pada layanan jantung, stroke, dan kasus kompleks lain, sehingga ada alur rujukan jelas: kasus sederhana cukup ditangani di RS Dasar/Madya, sedangkan kasus berat langsung ke RS Utama/Paripurna tanpa melewati tahap yang tidak perlu. Bagi rumah sakit, ini berarti harus siap berjejaring dan meningkatkan kapasitas sesuai perannya dalam sistem rujukan baru.
- Dampak pada Pembiayaan dan Manajemen Internal:Dengan dihapuskannya kelas A-D dalam skema tarif JKN, manajemen RS perlu menyesuaikan strategi finansial. Pendapatan dari klaim BPJS akan bergantung pada volume dan kompleksitas kasus yang ditangani (iDRG), bukan pada markup kelas rumah sakit. RS Paripurna dan Utama mungkin menangani kasus lebih berat sehingga menerima pembayaran lebih tinggi per kasus, namun mereka juga menanggung biaya operasional lebih besar untuk layanan canggih. Sebaliknya, RS Dasar/Madya akan fokus pada layanan dasar dengan tarif yang sesuai standar kasusnya. Kebijakan satu tarif ini mendorong efisiensi; manajemen RS harus meningkatkan efisiensi tanpa mengorbankan mutu agar dapat tetap sustain. Selain itu, klasifikasi baru bisa memengaruhi pola rujukan pasien umum non-JKN: masyarakat dan asuransi swasta akan lebih memperhatikan label kompetensi RS (misal memilih RS Paripurna untuk tindakan kompleks). Maka, branding dan kepercayaan publik akan kualitas RS sangat penting.
- Transisi dan Penyesuaian SDM:Bagi tenaga kesehatan, perubahan klasifikasi ini membuka peluang penataan ulang distribusi. Rumah sakit tingkat Paripurna/Utama kemungkinan membutuhkan lebih banyak dokter subspesialis, perawat terlatih khusus, dan tenaga pendukung berkemampuan tinggi. Pemerataan tenaga ahli ke daerah akan didorong agar RS di berbagai provinsi bisa naik ke level Utama. Pemerintah dalam UU 17/2023 juga menekankan peningkatan dan pendayagunaan SDM kesehatan secara optimal di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan. Manajemen RS perlu menjalin kemitraan dengan pusat pendidikan dan Kemenkes untuk pemenuhan SDM sesuai klasifikasi. Di sisi lain, insentif karir bagi tenaga kesehatan bisa disesuaikan: misal adanya program beasiswa atau penempatan bagi dokter agar RS di daerah terpenuhi spesialisnya dan naik kelas (menjadi Madya/Utama).
Sumber: Dr. Galih Endradita M